Rabu, 23 Februari 2011

Debt Free

Dilihat dari performa saham nya, ternyata perusahaan debt free lebih unggul.

Saham perusahaan-perusahaan berhutang besar, ternyata average return nya hanya -6.9%, dibanding saham perusahaan-perusahaan debt free yang average return nya 18%.
be well,
Dwika-ExecuTrain


I Want to Debt Free

Inspirasi
**fauzirachmanto.com 
I want to debt free! I want to debt free! Yeaah..! Lagu yang asli nya dibawakan grup musik Rock Queen, dan berjudul ‘I want to break free’ itu dinyanyikan dengan penuh semangat dan penghayatan oleh beberapa teman, yang bersama saya mengikuti seminar yang dibawakan Pak Heppy Trenggono di Bandung beberapa waktu lalu. Seminar tersebut memang mengajarkan para pengusaha untuk bebas hutang, alias debt free.
Bebas hutang? Pengusaha? Apa bisa?
Bukankah selama ini para pengusaha nyaris identik dengan berhutang. Bukankah hutang adalah ‘makanan sehari-hari’ bagi para pengusaha? Bukankah sudah menjadi ‘tugas’ pengusaha untuk memanfaatkan dana masyarakat dari bank untuk digunakan di sektor riil? Bukankah selama ini hutang adalah ‘oksigen’ bagi kelangsungan hidup usaha kami para pengusaha?
Saya juga berpikir demikian. Apa mungkin, tumbuh besar sebagai pengusaha tanpa hutang?
Namun setelah membaca rekam jejak pak Heppy Trenggono, pemilik grup usaha Balimuda, mau tidak mau saya memutuskan untuk secara khusus menyimak apa yang beliau sampaikan. Pak Heppy Trenggono sendiri pernah terlilit hutang bank, dan dengan segenap daya upaya akhirnya bisa melunasi hutangnya, dan kini usahanya menjadi raksasa tanpa ketergantungan pada hutang bank lagi.
Sebenarnya berbisnis tanpa hutang bank, bukan ide baru bagi kami yang berbisnis di jasa. Khususnya di teknologi informasi, khususnya lagi di software. Kenapa? Karena pemikiran kami melompat jauh ke depan! Eh, maaf bukan… Karena memang tidak ada yang mau kasih pinjaman… Hehehe.
Maklum, umumnya pekerjaan jasa dianggap tidak memerlukan pendanaan, seperti halnya pada usaha-usaha yang perlu fixed asset dan barang persediaan. Jasa konsultasi, cuma perlu tenaga manusia, itupun manusia-manusianya bisa kerja di mana saja. Kalaupun ada yang mau memberi pendanaan dan menanyakan fixed asset yang bisa dijadikan kolateral, agak repot menjelaskannya bahwa kami tidak punya mesin-mesin dan lokasi usaha pun bisa sewa.
Jadilah kami terbiasa untuk menyelesaikan proyek-proyek yang dipercayakan, dengan cara atur nafas, atur tempo, tapi tetap bebas hutang.
Lain cerita ketika istri saya mulai masuk ke usaha fashion dengan menciptakan brand ‘Lentik’ dan ‘Zirac’ melalui Lepuspa.Biz Nature bisnis nya berbeda. Ini industri yang sangat rakus modal kerja. Dengan omzet yang dari bulan ke bulan selalu meningkat, untuk membiayai pertumbuhan tersebut, jelas dibutuhkan tambahan modal kerja, yang salah satu alternatifnya adalah pembiayaan bank.
Jadi haruskah kami berpaling ke bank? Logikanya ya harus… Bukankah pinjaman bank bisa menjadi ‘leverage’ usaha. Tapi nanti jadi tidak ‘debt free’ living lagi dong… Sementara, harus saya akui, setelah mengikuti seminar pak Heppy Trenggono, saya terinspirasi oleh betapa tentram kehidupan debt free living…
Sebagai mantan karyawan bank, saya termasuk konservatif dan berhati-hati dalam hal pemanfaatan hutang untuk usaha. Bukan apa-apa, pengalaman saya bekerja di bank, dan kemudian di lembaga penyehatan perbankan mengajarkan saya satu hal, bahwa hanya ada satu penyelesaian untuk hutang berapapun nilainya, yaitu: dibayar.
Tentu tidak menjadi persoalan kalau usaha kita mampu membayar. Namun, selalu ada kemungkinan terjadi sebaliknya. Kemampuan membayar hilang, sementara hutang tetap ada. Kalau ini terjadi… berbisnis jadi tidak fun lagi..
Jadi mau stay debt free saja? Tunggu… Sebelum mengambil kesimpulan ada beberapa poin yang harus menjadi landasan berpikir kita dalam soal penggunaan hutang ini. Coba kita simak:

Jika Anda berpikir bisnis harus pakai hutang, Anda benar. Demikian juga sebaliknya.

Ya, jika Anda berpikir bahwa bisnis harus pakai hutang, Anda memang benar, dan demikianlah kehidupan berbisnis yang akan Anda jalani. Namun, kita juga harus terbuka kepada kemungkinan, bahwa ada sebuah kemungkinan, sekalipun mungkin tipis, bahwa bisnis bisa dikelola tanpa hutang.
Mengapa tidak? Ini baru bicara kemungkinan, belum cara nya. Nah, cara nya yang harus sama-sama kita cari tahu. Kalau kita percaya ini mungkin, saya percaya cara nya akan ketemu. Beda apabila dari awal kita sudah percaya bahwa ini tidak mungkin.
Jadi bagaimana konkretnya? Sabar… Simak terus bagian selanjutnya…

Asset berasal dari Liabilitas… dan Ekuitas

Kita semua sepakat, bahwa berbisnis adalah membangun asset produktif. Dari asset tadi kita akan memperoleh revenue, sumber profit kita. Jadi mau tidak mau asset harus tumbuh. Darimana mendanai pertumbuhan asset?
Pada umumnya, ya dari Liabilitas… Atau hutang. Tapi apakah ini cara satu-satunya? Tentu saja tidak. Kalau kita cermati neraca keuangan, di bawah Liabilitas ada Ekuitas, penyertaan modal yang dilakukan oleh Pemilik Usaha.
Dan berbicara ‘financing’ atau pembiayaan, sebenarnya tidak hanya sebatas ‘liabilities financing’ tapi juga ‘equity financing’. Ini yang jarang dieksplorasi.
Padahal banyak kisah sukses yang berawal dari Equity Financing ini.
Kalau kita baca buku ‘Delivering Happiness’ tulisan Tony Hsieh, CEO toko sepatu online terbesar di dunia Zappos.com kita bisa ikuti, bahwa dulu Zappos hanyalah sebuah ide usaha yang ditawarkan oleh Nick Swinmurn kepada Tony Hsieh, sebagai angel investor. Dan ternyata Tony Hsieh tidak salah menanamkan uangnya, Zappos bisa tumbuh dari penjualan $ 0 hingga $ 1 Milyar.

Bukan hanya kecepatan, tapi pertumbuhan. Bukan hanya besar, tapi kuat.

Selain menjadi kreatif dengan menggali kemungkinan model pendanaan selain hutang, konsekuensi dari keputusan untuk tidak menggunakan hutang adalah soal: kecepatan dan ukuran usaha.
Tanpa hutang, kemungkinan kecepatan untuk melakukan ekspansi usaha, pengembangan produk, dan sebagainya tidak akan secepat jika kita menggunakan hutang. Equity investor cenderung lebih rewel, dan terlibat dalam banyak aspek. Pembuatan keputusan akan terpengaruh.
Tapi apalah artinya menjadi besar, kalau ternyata ekspansi usaha yang terjadi tidak menyentuh hal yang paling mendasar dari berbisnis, yaitu menghasilkan nilai bagi pemilik usaha, karyawan dan pelanggan. Terutama bagi pemilik usaha. Terutama lagi nilai yang bernama profit bagi pemilik usaha… Hehehe.
Tentu sebuah usaha harus tumbuh. Namun pertumbuhan harus terjadi dengan sehat, dimana perusahaan harus punya fondasi yang kuat untuk mendukung sosoknya yang semakin besar. Dan tanpa hutang, pertumbuhan mungkin akan lambat, namun memberi peluang bagi kita untuk membangun fondasi tadi.
Sebuah studi yang pernah dikutip Michael Gerber yang dimuat di e-myth.com menyebutkan, bahwa dalam sebuah pemilihan acak terhadap saham perusahaan-perusahaan berhutang besar, ternyata average return nya hanya -6.9%, dibanding saham perusahaan-perusahaan debt free yang average return nya 18%. Dilihat dari performa saham nya, ternyata perusahaan debt free lebih unggul.
Singkat cerita…
Ternyata membangun perusahaan yang debt free adalah mungkin. Bahkan berpeluang memiliki kinerja usaha yang lebih bagus. Tentu cara-cara untuk mendapatkan alternatif hutang, misalnya melalui equity financing seperti yang saya sebutkan, harus terus digali dan dicoba. Sekalipun sekarang Anda percaya bahwa berhutang masih menjadi cara terbaik, menurut saya tidak ada salahnya mencoba menggali kemungkinan ini.
Hingga suatu hari kita bisa bernyanyi: Now I’m debt free… Now I’m debt free… Yeaah! (FR)

1 komentar: