Senin, 15 November 2010

Positive labeling

Sering-seringlah memberikan positive labeling kepada siapapun di sekeliling kita.
Social proof, Positive labeling, Groupthink: sejumlah fenomena perilaku sosial yang perlu kita cermati. Mudah-mudahan Anda tidak sering terjebak dalam social proof dan terjerumus dalam tragedi groupthink.
be well,
Dwika-ExecuTrain



Blackberry, Social Proof dan Positive Labeling
* Written by Yodhia Antariksa

Blackberry, kita tahu, kini telah menjadi salah satu gadget yang digandrungi banyak orang. Tentu saja, larisnya produk ini ditopang oleh fitur-fiturnya yang user-friendly. Beragam fiturnya membikin para penggunanya bisa saling ber-BBM, dan juga amat praktis untuk ber-FB atau ber-tweet ria.

Namun dibalik meledaknya penjualan gadget BB itu, terselip sebuah fenonema psikologis yang acap disebut sebagai “sikap latah”. Kalau orang lain atau teman-teman saya pakai BB, saya saya harus pakai juga dong; begitu kira-kira bunyi sikap tersebut.

Dalam ilmu perilaku (behavior science), kejadian ini disebut sebagai “social proof”. Atau sebuah perilaku individu yang dipicu semata-mata karena orang lain juga melakukan hal yang sama.

Jika dimanfaatkan secara cerdik, fenomena social proof itu bisa menjadi alat pemasaran yang mampu meledakkan penjualan sebuah produk – persis seperti yang terjadi pada Blackberry itu.

Strategi social proof ini kemudian dimanfaatkan secara jeli oleh sejumlah produsen. Contohnya : penerapan label best sellers pada sejumlah item (misal produk buku atau CD). Misalkan ada sebuah buku yang lumayan laku (dan karenanya layak masuk kategori best seller); namun begitu label “best seller” itu dipasang didepan sampul buku, maka penjualan buku itu langsung melambung berkali-kali. Riset berulang kali telah membuktikan keampuhan kata-kata “best seller” itu.

Mengapa kata “best seller” begitu sakti dalam melambungkan penjualan. Jawabnya jelas : ada social proof disitu. Para calon pembeli akan membayangkan, bahwa buku itu telah dibeli oleh banyak orang, jadi mengapa saya tidak ikut membelinya.

yes_cialdini.jpgRisalah tentang social proof itu saya baca melalui buku bertajuk : Yes - 50 Scientifically Proven Ways to Be Persuasive. Secara amat memikat buku ini menyajikan kisah 50 hasil riset ilmiah tentang beragam perilaku manusia. Setiap kisah hanya disajikan sepanjang dua halaman. Ringkas, padat namun pekat dengan narasi yang menyegarkan.

Tema lain yang dibahas dalam buku itu adalah fenomena positive labeling. Dalam sebuah riset, dikisahkan ada dua kelompok murid SLTA. Dalam satu kelompok, para guru diminta mengajar sambil sering-sering menyampaikan positive labeling : misal, kalian adalah murid-murid yang gigih dalam belajar, atau kalian adalah murid yang cerdas, dan sejenisnya. Sementara dalam kelompok satunya, para guru hanya diminta mengajar seperti biasanya, alias tidak ada satupun positive labeling yang ditancapkan.

Enam bulan kemudian, ketika dilakukan ujian, maka rata-rata nilai kelompok pertama secara signifikan lebih tinggi dibanding rata-rata nilai kelompok kedua. Riset itu menyimpulkan bahwa positive labeling ternyata memberikan kekuatan sugestif kepada penerimanya. Memberikan label “anda adalah orang yang gigih” ternyata membuat penerimanya terdorong untuk bertindak sesuai dengan label yang diberikan tersebut. Jadi kalau Anda ingin anak atau keponakan Anda menjadi orang sukses, sering-seringlah memberikan positive labeling kepada mereka.

Fenomena lainnya yang juga dibahas dalam buku itu adalah apa yang oleh para peneliti perilaku disebut sebagai “groupthink” atau “kegagalan berpikir secara kelompok”. Fenomena ini merujuk pada gagalnya sebuah kelompok mencapai keputusan yang bermutu karena masing-masing anggota kelompoknya takut/rikuh/khawatir untuk mengekspresikan gagasannya secara mandiri dan bebas.

Acap dalam sebuah rapat/meeting, masing-masing pesertanya segan atau enggan memberikan pandangannya yang berlainan – lebih karena ia tidak mau mengambil sikap konfrotatif, atau sekedar ingin menghargai pendapat umum yang muncul. Sialnya semua peserta memiliki sikap seperti itu. Akibatnya bisa fatal : kesimpulan atau keputusan yang diambil kurang bermutu karena tidak melalui pertarungan gagasan yang mendalam. Atau karena semua peserta menahan diri untuk tidak saling “mengkritisi” pendapat pihak lain.

Itulah sebuah fenonema yang disebut “groupthink”. Dalam arena ini tidak terjadi sinergi. Yang terjadi justru destruksi. Artinya, masing-masing anggota kelompok itu secara individual mungkin cerdas-cerdas dan brilian. Namun begitu semuanya bergabung dalam sebuah kelompok, justru terjerumus dalam “kebodohan kolektif”.

Jadi lain kali ikut meeting, waspadalah dengan fenomena “groupthink” ini. Salah satu cara untuk menghindarinya adalah dengan menghadirkan “devil’s advocate” atau seseorang yang memang ditugaskan untuk selalu mengkritisi keputusan kelompok; menggugat dan mendorong semua anggota kelompok untuk benar-benar memikirkan ulang keputusannya secara mendalam.

Social proof. Positive labeling. Groupthink. Inilah sejumlah fenomena perilaku sosial yang perlu kita cermati. Mudah-mudahan Anda tidak sering terjebak dalam social proof dan terjerumus dalam tragedi groupthink. Dan jangan lupa, sering-seringlah memberikan positive labeling kepada siapapun di sekeliling kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar