Minggu, 02 Januari 2011

Bank Ide

Ide bisa kita pungut dari koran, majalah, televisi, dan pengalaman (sendiri atau orang lain). Buat “bank tema” tulisan. Ide tulisan -terutama jika kita sudah terbiasa menulis- akan datang mengalir deras. Nyaris, setiap yang kita baca, kita lihat, kita dengar, atau apa yang dialami orang lain, bisa menjelma menjadi ide yang menarik. Sungguh, ide bisa datang dari mana dan kapan saja.
be well,
Dwika-ExecuTrain











Kiat Menulis Artikel dan Menembus Media
Oleh : M. Anwar Djaelani,

Menulis? “Aduh, saya tak bisa! Sulit menemukan tema. Jikapun saya bisa menulis, siapa yang akan berkenan memuatnya?” Demikian, rata-rata jawaban dari orang yang kita minta untuk menulis artikel. Beralasankah sikap seperti itu?

Bisa, InsyaAllah!

Setiap orang -semestinya- bisa menulis artikel. Lho? Coba perhatikan keseharian kita! Bukankah rata-rata orang akan beropini saat menjumpai sesuatu yang menarik perhatian di sekelilingnya?

Sungguh, tema untuk dikembangkan medikembangkan menjadi tulisan yang menarik, cukup mudah kita mendapatkannya. Tema itu bisa berasal dari berbagai level. Mulai dari skala pribadi / keluarga, tingkat perkotaan, bahkan sampai ke level nasional.

Di level rumah tangga, misalnya. Ketika ibu-ibu mendapati kenyataan bahwa harga beberapa kebutuhan pokok merangkak naik mengiringi kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), maka mereka bisa menulis opini tentang ini.

Opini mereka, bisa dari berbagai sudut pandang, tergantung dari hal mana yang paling menarik perhatiannya atau ilmu/informasi yang paling dikuasainya. Misal, seorang ibu bisa memandang masalah ini dari sisi hikmah. Dari segi ini bisa ditulis bahwa inilah momentum untuk mengampanyekan “Gerakan Hidup Hemat” secara khusus bagi seluruh anggota keluarga masing-masing dan secara umum bagi masyarakat luas.

Di dalamnya, mereka bisa berbagi kiat, bahwa dengan berhemat kita bahkan bisa lebih berbagia. Oleh karena itu, patutlah kiranya semua pihak mengampanyekan sekaligus mengamalkan “Gerakan Hidup Hemat” ini. “Jadikan hidup hemat sebagai gaya hidup,” demikian inti pesan dari opini itu.

Lalu, di level perkotaan, seperti apa contohnya? Misal, apa opini kita tentang sikap walikota di sebuah kota besar yang masih mempertahankan lokalisasi prostitusi yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara itu? Bukankah, Sang Gubernur dan wakilnya sudah mendorongnya secara kuat untuk segera menutupnya? Bukankah, ulama-ulama di kota itu sudah menyatakan kegerahannya atas keberadaan sarang maksiat itu?

Sementara, di level nasional, apa pula contohnya? Misal, apa opini kita atas berlarut-larutnya kenyataan pahit bahwa pelaksanaan hukum masih bersifat ‘tebang pilih’? Bahwa hukum masih dipraktikkan seperti saat kita menggunakan pisau, yang hanya tajam mengiris bagian yang di bawah (yaitu rakyat kecil / kaum yang tak berpunya) dan tumpul saat berhadapan dengan bagian yang di atas (yaitu ‘rakyat besar’ / kaum berharta / penguasa). Lihat –sekadar untuk menyebut contoh-, bagaimana seorang tahanan yang berduit banyak cukup leluasa keluar-masuk sel dan bahkan sempat terbang berwisata ke sebuah ‘pulau wisata’ untuk menonton sebuah pertandingan tenis internasional.

Pendek kata, masalah ada di mana-mana dan kita pasti mempunyai opini tentang itu. Jika selama ini, opini kita sebatas kita utarakan ke orang-orang di lingkungan dekat kita yang jumlahnya terbatas, maka sadarilah –sesungguhnya- opini itu akan jauh lebih bermanfaat jika jika dibaca (yang pada akhirnya juga akan didengar) oleh orang dalam jumlah yang sangat banyak dan tersebar di berbagai sudut negeri.

Niat dan Pembiasaan

Atas ilustrasi sekilas di atas, ayo segera ambil pena, mulailah menulis! Jangan ragu. Sebab, dalam hal kepenulisan, bakat itu -kata seorang ahli- hanya menyumbang 5 – 10% saja. Sisanya, ketekunan untuk terus berlatih sebagaimana dulu kita belajar naik sepeda.

Masih ingatkah dulu, di saat-saat awal belajar bersepeda. Tentu saja, semua orang akan mengawalinya dengan tahapan jatuh dan jatuh samapai di kemudian saat bisa menemukan ‘resep’ bagaimana menjaga keseimbangan tubuh dan mengatur kecepatan sedemikian kita bisa bersepeda dengan nyaman dan aman. Itu semua, memerlukan latihan-latihan yang cukup.

Paralel dengan kisah belajar bersepeda di atas, untuk menjadi penulis yang baik, ketrampilan menulis harus terus diasah. Proses ‘jatuh dan jatuh’ di saat awal adalah lumrah. Contoh ‘jatuh dan jatuh’, seperti mulai dari sekadar dikritik teman sampai ditolak oleh redaktur untuk dimuat di medianya.

Dalam hal ‘jatuh-jatuh’ itu, -bisa dibilang- semua penulis pernah mengalaminya. Tanpa bermaksud mengecilkan hati para calon penulis, banyak cerita nyata, bahwa seseorang yang sekarang kita kenal sebagai penulis (terkenal), ternyata di saat-saat awal, sejumlah naskah/artikel yang dikirimnya tak langsung dimuat. Ada yang bercerita dimuat setelah mengirim lebih dari tiga puluh kali. Seseorang lainnya, setelah lebih dari tujuh puluh kali.

Semakin sebuah media cetak terkenal, maka kompetisi untuk menembusnya akan semakin ketat. Konon, sebuah koran nasional yang oplahnya sekitar setengah jutaan, tiap hari menerima sekitar seratus artikel setiap hari. Sementara, di tiap edisi, koran tersebut rata-rata hanya bisa memuat dua buah artikel dan bahkan kadang cuma satu artikel saja.

Sekali lagi, fakta di atas perlu diungkap, semata-untuk lebih meneguhkan komitmen kita bahwa dalam belajar menulis itu tahapan ‘jatuh dan jatuh’ adalah sesuatu yang biasa dan bahkan memang harus dilewati agar kita lebih matang, cerdas, dan arif.

Dengan demikian, ‘teori-teori’ yang akan diungkap segera setelah ini hanya sekadar bagi-bagi pengalaman dari seorang sahabat. Kelak, insyaAllah, Andapun akan punya pengalaman, yang -boleh jadi- serupa atau berbeda. Dari mana pengalaman itu? Tentu saja dari praktik menulis yang terus-menerus. Dari sebuah pembiasaan yang tiada henti.

Namun, pembiasan untuk terus menulis itu harus didasari pada sebuah niat yang benar. Tata niat kita dulu. Apa motivasi kita menulis? Demi idealismekah? Misal, untuk turut mencerdaskan bangsa dengan jalan memengaruhi opini publik. Ataukah, sekadar untuk meraih popularitas? Atau, sarana mencari uang? Tentu saja, pilihan motivasi itu akan berbanding lurus dengan ‘daya juang’ kita dalam (berlatih) menulis.

Apapun niat Anda, menjadi penulis itu pasti ‘kaya’, karena dia berposisi sebagai pemberi (ilmu/pengetahuan/gagasan). Dia pasti kaya wawasan, sebab aktivitas menulis mewajibkan dirinya untuk terus membaca. Kecuali itu, penulis juga berpeluang besar untuk kaya secara materi, dari honorarium atau royalti karya-karyanya.

Agar kaya wawasan, maka jadikanlah aktivitas membaca sebagai keseharian kita. Dan, memang, tulisan bagus biasanya akan lahir dari seorang pembaca yang rakus.

Jurus Jitu

Berdasarkan pengalaman, berikut ini sejumlah catatan yang bisa kita aplikasikan untuk belajar menulis artikel sekaligus kiat sukses menembus media (cetak).

A. Faktor Teknis

1. Buat “bank tema” tulisan. Ide tulisan -terutama jika kita sudah terbiasa menulis- akan datang mengalir deras. Nyaris, setiap yang kita baca, kita lihat, kita dengar, atau apa yang dialami orang lain, bisa menjelma menjadi ide yang menarik. Sungguh, ide bisa datang dari mana dan kapan saja. Ide bisa kita pungut dari koran, majalah, televisi, dan pengalaman (sendiri atau orang lain). Maka, usahakanlah untuk selalu membawa alat tulis. Segera tulis ide(-ide) yang kerap datang secara tiba-tiba.

Untuk artikel, ide harus orisinal, aktual, urgen, menawarkan wawasan baru, dan memberi solusi. Contoh: Saat naskah ini ditulis, untuk masalah perkotaan di Surabaya, bisa diangkat tema tentang semakin meningkatnya jumlah pelanggar lampu lalu-lintas di berbagai perempatan jalan. “Kepada para ‘Koruptor’ di Perempatan Jalan” bisa menjadi salah satu pilihan judul.

Sekali lagi, baca media cetak, ‘baca’ TV, ‘baca’ peristiwa di sekitar kita. Maka, pengetahuan kita akan bertambah, perbendaharaan kata semakin kaya, dan –yang paling penting- bisa mengail ide / tema tulisan.

Contoh:

* Baca media cetak, lahir: 1. Bisakah Gizi Buruk Picu Sadar Zakat (Jawa Pos 30/4/08). Urgensi Meneliti dan Menulis bagi Guru (Jawa Pos 26/3/08). 2. Habiburrahman sebagai Fenomena Penulis Kaya (Jawa Pos 3/3/08) 3.Ulama dan Relativisme Kaum Liberal (Jawa Pos 16/11/07) 4. Kontribusi Relativisme ke Aliran Sesat (Jawa Pos 23/11/07). 5. Hukuman Guru dan Mimpi Buruk Murid (Radar Surabaya, 21/2/08).
* ‘Baca’ media elektronik, lahir Tukul, “Kesehatan” Publik, dan KPID Jatim (Jawa Pos 2/3/07)‏.
* ‘Baca’ peristiwa di sekitar, lahir Penutupan Jalan Vs Kepentingan Umum (Jawa Pos 13/7/06), Kantin Kejujuran, Pendidikan Antikorupsi (Jawa Pos, 6/11/2008), Ayat Cinta (Buletin Hanif 27/7/2007).

1. Buat judul yang mencerminkan tema. Judul yang baik, antara lain: a). Mampu mencuri perhatian pembaca. b). Mencerminkan tema / arah tulisan, sehingga bisa menjadi ‘miniatur’ isi keseluruhan tulisan. c). Ringkas dan padat.

Sebagai sarana berlatih, seringlah memerhatikan judul-judul artikel di berbagai media cetak. Misal: “Berhaji Sekali, tapi Berimplikasi Sosial”, Jawa Pos, 27 November 2007. “Hijrah Pemimpinku dan Bangsaku! ”, Jawa Pos, 26 Maret 2001. “Intelelektual, Artikel, dan Buku”, Jawa Pos, 20 Mei 2007. “Berhaji, Menjadi Abdullah Sejati”, Radar Surabaya,13 Desember 2005. ”Pemimpin Amanah dan Sekolah Ramadhan”, Radar Surabaya, 15 Oktober 2005. “Berani Mubahalah untuk Fatwa MUI?”, Radar Surabaya,12 Agustus 2005. “Din dan Wajah Muhammadiyah”, Radar Surabaya, 9 Juli 2005. “Quo Vadis Muhammadiyah”, Radar Surabaya, 30 Juni 2005. “Surga Pornografi Nomor Dua”, Jawa Pos,15 September 2004. ”Ekses Kampanye Kawin Beda Agama”, Jawa Pos, 27 Oktober 2002. “Apa Kabar ‘I’ di HMI?”, Jawa Pos, 1 Mei 2002. “Hidup Bersih Tanpa Gratifikasi”, Radar Surabaya, 8 November 2006.

1. Buat outline / kerangka karangan sebelum menulis secara lengkap. Berdasar ide / tema yang telah kita pilih, buatlah outline untuk memudahkan pengembangan penulisan. Pada dasarnya, alur menulis terangkai dalam:

Pertama, pendahuluan.

Pendahuluan berbentuk paparan ringkas dari masalah yang akan kita kupas. Untuk artikel, pendahuluan biasa pula disebut dengan lead. Posisi lead menempati alinea pertama. Fungsi lead: Penggugah rasa ingin tahu pembaca. Artinya, setelah terpikat oleh judul, pembaca dapat terus kita ikat minat bacanya sampai tuntas membaca keseluruhan tulisan. Pendek kata, lead mengantar pembaca ke gagasan utama sang penulis.

Ada tiga pilihan gaya lead. Langsung menyodok dengan serangkaian pertanyaan / pemaparan masalah. Atau, berupa kutipan ayat suci / hadits, buku, pernyataan orang. Atau, ringkasan tulisan kita.

Kedua, berisi pembahasan (berupa analisis atas masalah yang kita angkat). Pembahasan harus sistimatis, argumentatif, tuntas, ditulis dengan bahasa baku namun tetap dengan sentuhan popular.

Dan, ketiga, berisi penutup. Bagian ini memuat kesimpulan atau solusi atas masalah yang dikupas. Disajikan sekaligus dengan gaya pamit.

1. Tentang panjang tulisan. Perhatikanlah kebijaksanaan khas tiap media cetak dalam menerima artikel. Misal, tentang panjang tulisan yang kita kirim. Usahakanlah sesuai dengan “ketentuan” dari masing-masing media cetak. Secara umum, media membutuhkan artikel sepanjang 6000 karakter. Hanya saja, sejumlah media cetak ada meminta secara khusus. Di Radar Surabaya, misalnya, artikel yang diinginkan sekadar 4500 karakter.

Dua pihak sama-sama diuntungkan jika kita mengirim artikel sesuai dengan kebutuhan si media. Pertama, si redaktur beruntung karena dia tak memerlukan waktu editing yang lama. Kedua, si penulis diuntungkan karena kemungkinan si redaktur ‘salah gunting’ (karena alasan editing) ternihilkan.

1. Tentang ‘kelengkapan’ naskah. Terutama di masa awal “karir” kepenulisan, saat mengirim naskah jangan lupa untuk menyertakan semcam surat pengantar dengan menonjolkan, pertama, perlihatkan otoritas kita dalam menulis artikel dengan tema yang kita kirimkan itu. Lalu, tulislah -jika punya- pengalaman menulis sebelumnya (misal, pernah aktif di pers kampus saat masih mahasiswa atau tunjukkan media cetak mana saja yang pernah memuat tulisan kita). Jika belum punya, tak perlu berkecil hati. Kedua, lengkapilah dengan salinan kartu identitas kita. Sertakan pula foto, nomor kontak, dan nomor rekening bank (untuk pengiriman honorarium jika naskah kita dimuat). Kelak, jika sudah dikenal redakturnya, pengiriman naskah lewat email -biasanya- tak memerlukan lagi “lampiran-lampiran” tadi karena redaktur sudah punya arsip.

B. Faktor Non-Teknis

1. Secara umum, kenali karakter media yang akan kita kirimi artikel. Tiap-tiap media pasti memiliki “ciri khas” seperti dalam hal segmen pembaca, pilihan tema artikel, dan gaya bahasa. Caranya? Pelajarilah berita-berita dan artikel-artikel yang dimuat di berbagai media. Sekadar contoh, bandingkanlah berita dan artikel di Jawa Pos, Kompas, dan Republika.
2. Secara khusus, kenali ‘selera’ redaktur opininya. Dia suka tema-tema apa dan dengan ‘model’ penyajian seperti apa? Kadang, sekalipun di media yang sama, jika terjadi pergantian redaktur maka –sedikit atau banyak- akan mengubah pula “peta” kecenderungan artikel yang dimuat.
3. Pilih posisi, akankah menjadi penulis spesialis atau generalis. Untuk tahap awal, disarankan agar menulis artikel yang sesuai dengan otoritas keilmuan yang kita miliki. Kelak, jika kita mulai dikenal sebagai penulis yang potensial, maka bisa saja kita mulai untuk menulis tema-tema lain yang ‘berbeda’.

Ayo, Mulai!

Sekarang, tak perlu kita tunda-tunda lagi. Untuk (bisa) menulis, tak ada kiat yang paling manjur selain dengan apa yang dikenal sebagai “Tiga M”: mulai, mulai, dan mulailah!

Untuk itu, berikut ini (sebagian) daftar alamat email media cetak yang bisa kita kirimi artikel. Untuk Jawa Pos edisi nasional ke opini@jawapos.co.id. Untuk edisi metropolis ke metropolis@jawapos.co.id. Sementara, untuk Radar Surabaya ke radarsurabaya@yahoo.com.

Untuk Republika, silakan ke sekretariat@republika.co.id. Untuk Kompas edisi nasional bisa ke opini@kompas.com dan edisi Jawa Timur ke kompas@sby.dnet.net.id. Sementara untuk SURYA ke redaksi@surya.co.id. Lalu, untuk Surabaya Post ke redaksi@surabaya-post.info atau surabaya_post@yahoo.com.

Mari, menulis dan teruslah menulis! Warnai dunia dengan opini bernas kita. Warnai dunia dengan tulisan-tulisan kita yang mengajak sesama untuk berperadaban mulia. Jika, karena sesuatu dan lain hal media cetak belum memuat karya kita, kini media online memberi peluang sangat lebar sedemikian rupa tulisan-tulisan kita bisa dibaca oleh begitu banyak orang, misal lewat blog.

Ayo, berlomba-lombalah dalam kebaikan! Salam! []

Daftar Bacaan

Dunia Kata (Mewujudkan Impian Menjadi Penulis Brilian), M. Fauzil Adhim, DAR! Mizan, Bandung, 2004

Jurnalistik Dakwah, Sutirman Eka Ardhana, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 1995

Jurnalisme Islam, Herry Muhammad, Pustaka Progressif, Surabaya, 1992

Kiat Menjadi Penulis Sukses, Abu Al-Ghifari, Mujahid Press, Bandung, 2002

Lincah Menulis Pandai Bicara, Asep Syamsul M. Romli, Nuansa Cendekia, Bandung, 2005

Menjadi Powerful Da’I dengan Menulis Buku, Bambang Trim, KOLBU, Bandung, 2006

Menulis Bisa Bikin Kaya, Helvy Tiana Rosa, Ziyad Visi Media, Jajar Laweyan, 2007

Panduan Membuat Karya Tulis, O. Setiawan Djuharie dan Suherli, CV Yrama Widya, Bandung, 2005

Teknik Penulisan Ilmiah Populer, Slamet Soeseno, Gramedia, Jakarta, 1997

Media Silaturrahim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar