Senin, 27 Desember 2010

Anda berkembang

Anda berkembang dengan mengembangkan orang lain (sinergis, ke-saling-bergantungan). Sinergi juga akan mendorong Anda membuka diri, meningkatkan diri, dan menemukan solusi yang pas untuk masalah yang terus berkembang.
be well,
Dwika-ExecuTrain





3 Pondasi Membina Orang Lain
**supersupriyadi.blogspot.com

Pondasi 1: Tujuan

Dalam manajemen, pembinaan ini biasa kita kenal dengan istilah coaching. Apa itu coaching? Secara teoritis, coaching adalah proses pengarahan yang dilakukan atasan / senior untuk melatih dan memberikan orientasi kepada bawahannya tentang realitas di tempat kerja dan membantu mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi kerja yang optimal. Sebagai seorang coach, peran-peran penting yang perlu dimainkan adalah:

* Merencanakan pengembangan orang lain
* Mereview perkembangannya
* Memberikan instruksi di lapangan
* Membenahi kesalahan
* Mempertimbangkan rotasi kerja
* Memberikan kesempatan untuk berkembang
* Bekerjasama dengan orang atau lembaga lain tentang pengembangan
* Memikirkan kemajuan karir orang lain
* Mengetahui potensi unggulan yang dimiliki orang lain

Kegiatan ini akan sangat tepat diberikan kepada orang baru, orang yang menghadapi pekerjaan baru, orang yang sedang menghadapi masalah prestasi kerja atau orang yang menginginkan pembinaan kerja. Dalam manajemen, coaching ini dibedakan dengan konseling (counseling). Coaching lebih terkait dengan peningkatan skill. Sedangkan konseling itu lebih terkait dengan pembinaan orangnya dalam menghadapi masalahnya.

Konseling ini pun dalam prakteknya menjadi penting. Kenapa? Misalnya saja ada bawahan kita yang punya masalah cinta. Meskipun kita bisa mengatakan bahwa cinta dan pekerjaan itu adalah dua hal yang berbeda, tetapi prakteknya tidak semua orang bisa memisahkan. Jika masalah cinta itu mempengaruhi kinerja, maka sebagai atasannya, kita perlu memberikan konseling. Kalau tidak bisa dilakukan sendiri, kita perlu meminta bantuan orang lain yang bisa.

Seiring perubahan di bidang industri, banyak pihak yang merasa bahwa meng-coaching itu menjadi kebutuhan pokok. Alasanya cukup banyak. Selain diakui sebagai cara yang paling efektif untuk meningkatkan skill, ia pun diakui sebagai sarana motivasi kerja. Memang, gaji, insentif, fasilitas material, dan semisalnya itu merupakan sumber motivasi kerja yang berlaku untuk semua orang, tetapi jika itu saja yang diberikan organisasi, lambat-laun nilainya atau wibawanya akan berkurang atau akan mengalami "inflasi" nilainya.

Motivasi fisiologis itu nilainya mudah diukur dengan angka dan sifatnya pun tangible sehingga mudah dibandingkan dengan orang lain. Dengan begitu, kapasitasnya dalam memotivasi seseorang pun terbatas. Lain halnya dengan coaching. Coaching itu termasuk motivasi psikologis dan sifatnya adalah intangible. Meskipun bisa diukur juga, tetapi tidak mudah diangkakan sehingga nilainya "tidak bisa dibalas". Dengan begitu, kapasitasnya dalam memotivasi seseorang pun jauh lebih powerful dan lebih long-term.

Karena motivasi kerja itu tidak cukup hanya dibentukkan ke dalam paket balas jasa materi, makanya dalam Reward Management (Manajamen Balas Jasa), biasanya yang selalu disarankan adalah mendesain reward yang total. Total di sini maksudnya adalah menyentuh aspek kebutuhan fisik, kebutuhan psikis, lingkungan yang kondusif, dan kebutuhan spiritual (harapan akan adanya perubahan yang lebih baik) serta penciptaan lingkungan kerja yang kondusif.

Intinya, coaching itu menguntungkan dua pihak, yaitu: organisasi dan karyawan, pemimpin dan pengikut; atasan dan bawahan. Apa yang perlu kita perhatikan dalam meng-coach seseorang? Langkah pertama adalah mengetahui tujuan yang hendak kita raih. Ini dasar dari semua pengajaran sehingga sangat pas disebut pondasi. Jadi, mulailah dari tujuan akhir yang berangkat dari kenyataan sekarang ini dan tentukan cara-caranya. Tujuan ini bisa dalam bentuk hasil nyata (result) atau tindakan tertentu (penguasaan) yang dapat menjadi tool untuk mendapatkan hasil tertentu.

Kalau mengacu pada formula SMART, tujuan itu perlu kita desain berdasarkan poin-poin di bawah ini:

1. Tujuan itu haruslah specific (spesifik): terget tertentu yang hendak kita wujudkan atau skill tertentu yang hendak kita ajarkan.
2. Tujuan itu haruslah measurable (memiliki padanan fisik yang bisa dijadikan ukuran): indikator pencapaian hasil atau indikator penguasaan skill
3. Tujuan itu haruslah attainable (bisa dicapai secara akal sehat): ukurannya masuk akal atau secara akal sehat bisa dilakukan prosesnya, tidak terlalu tinggi
4. Tujuan itu haruslah relevant (bisa memotivasi, menantang yang bersangkutan, atau sesuai dengan perkembangan yang bersangkutan)
5. Tujuan itu haruslah memiliki time scale (skala waktu atau periodesasi atau penahapan)

Perlukah kita mengkomunikasikan tujuan itu pada yang bersangkutan? Benar. Berdasarkan banyak pengalaman, tujuan ini sangat perlu didiskusikan. Ini agar yang bersangkutan bisa lebih bertanggung jawab, tidak merasa di oleh paksa oleh pihak lain, dan yang lebih penting lagi adalah untuk mengetahui akurasi tujuan itu sendiri. Percuma saja kita menargetkan tujuan yang muluk-muluk jika orangnya belum punya kapasitas untuk merealisasikan tujuan itu. Tujuan yang tidak akurat sangat berpotensi melahirkan stres kerja.

"Tujuan akan memudahkan kita mengetahui dari mana memulai, dengan cara apa saja kita bisa meraih dan bentuk penyimpangan apa saja yang muncul."


Pondasi 2: Mengetahui Model Orang
Dalam prakteknya, model orang yang akan kita coach itu berbeda-beda. Model orang ini secara garis besarnya bisa kita kelompokkan menjadi dua, yaitu: orang-orang yang mudah dibina dan orang-orang yang tidak mudah dibina. Model orang yang mudah dibina itu antara lain:

1. Orang yang punya motivasi tinggi untuk meraih prestasi. Dalilnya adalah, ia punya motivasi intrinsik atau tujuan yang jelas di batinnya
2. Orang yang percaya (dengan alasan yang beragam) bahwa kita bisa meningkatkan kemampuannya.
3. Orang yang mengetahui tujuan dari pembinaan
4. Orang yang sudah merasakan pentingnya pembinaan berdasarkan pengaman atau pengetahuanya atau berdasarkan contoh-contohnya
5. Orang yang secara kapasitas intelektual, emosional, dan spiritual lebih bagus sehingga mudah mencerna instruksi. Orang yang kapasitas intelektualnya rendah, terkena stress atau depresi, atau kurang memiliki panggilan spiritual biasanya sulit menangkap dan menerima pembinaan
6. Orang yang merasa skillnya masih kurang dan sadar untuk menambahnya / meningkatkannya. Merasa kurang skill saja terkadang belum cukup sampai ada kesadaran yang muncul
7. Orang yang punya sikap mental positif, misalnya "pede", tidak gampang meyakini adanya kesusahan, kesulitan, dan lain-lain
8. Orang yang butuh perubahan ke arah yang lebih bagus. Orang yang terbuai oleh kenyamanan semu biasanya tidak mudah menerima pembinaan.
9. Orang yang sedang tidak punya masalah, misalnya masalah keluarga, masalah hubungan dengan orang lain, dan seterusnya.

Kalau mengacu pada konsep pembinaan karyawan yang umum, model orang itu bisa dibedakan sebagai berikut:

1. Istimewa (exceptional performer): punya kinerja yang melebihi standar secara konsisten
2. Perlu dihargai (commendable performance): secara rutin bisa melebihi beberapa standar
3. Memuaskan (satisfactory performance): secara rutin bisa memenuhi standar kinerja
4. Perlu perhatian (marginal): jarang memenuhi standar
5. Tidak bisa diterima / cacat (unacceptable): tidak bisa memenuhi standar

Nah, kenapa kita perlu mengetahui model orang ini? Alasannya terkait pada perlakuan yang akan kita berikan. Membina orang itu bukan sekedar mengajarkan / mentransfer skill. Dibutuhkan juga pembinaan jiwanya, mentalitasnya, sikapnya atau pola pikirnya. Kalau orang itu tidak percaya sama kita, punya motivasi rendah, atau tidak tahu tujuannya, apa yang terjadi? Biasanya ini sulit. Karena itu harus ada pencerahan dan pembersihan batin dulu atau pengosongan dari berbagai belenggu. Dengan mengetahui model orang berarti kita sudah tahu pembersihan dan pencerahan macam apa yang perlu kita berikan.

Selanjutnya, mengetahui model orang itu juga berguna membantu kita menentukan pendekatan (penggunaan metode) yang lebih pas. Untuk orang yang Istimewa atau Perlu dihargai barangkali cukup kita kasih pengarahan lalu kita koreksi hasilnya. Tetapi bagaimana dengan orang yang marginal? Biasanya ini perlu pengawasan proses dan penilaian hasil lalu penjelasan yang lebih details. Bahkan ini terkadang tidak cukup sekali.

Yang terakhir terkait dengan penahapan. Biasanya, meskipun tujuan dari coaching itu sudah kita jelaskan, diskusikan, dan di sepakati bersama, namun dalam prakteknya kerap ada ganjalan. Artinya, ada beberapa tujuan atau terget yang tidak bisa direalisasikan sekaligus. Di sinilah dibutuhkan penahapan. Dengan mengetahui model orang berarti kita tahu besar-kecilnya penahapan yang harus kita buat. Jika target dan tujuan itu kita berikan sekaligus, lebih-lebih jika itu tidak compatible dengan skill-nya, bisa-bisa malah stress kerja yang muncul.

Pondasi 3 :Pembinaan Dari Dalam Ke Luar
Membina orang lain itu pada tingkat yang paling esensialnya sama seperti mendidik, mengajar, atau memimpin. Artinya, membina itu bukan semata menyampaikan pembinaan kepada dan untuk orang lain, melainkan juga perlu menyadari pentingnya menyampaikan pembinaan kepada dan untuk diri sendiri. Kalau melihat prakteknya, justru yang kedua ini yang paling penting dan yang paling menentukan.

Bentuk-bentuk pembinaan-diri seperti apa yang diperlukan? Kalau melihat ke prakteknya, bentuk pembinaan-diri yang sangat diperlukan adalah:
Pertama, tetap memiliki harapan yang positif atau optimis akan adanya perubahan ke arah yang lebih bagus. Banyak orang yang gagal menjadi pembina bukan karena tidak punya kemampuan membina atau bukan karena tidak ingin membina. Tetapi karena apa? Orang itu gagal menjadi pembina karena sudah pesimis atau sudah apatis dulu. Ada banyak keajaiban yang dibuktikan para ibu dengan kemampuannya menyadarkan anak yang telah terlibat narkoba. Salah satu kunci penting yang dipraktekkan para ibu itu adalah tidak pernah pesimis dan apatis.

Kedua, menyampaikan materi coaching dengan cinta, hati, atau atas dasar komitmen kita pada pembinaan. Ini artinya, jangan sampai kita membina orang lain sebagai reaksi atas kemarahan atau sambil marah. Meskipun ini sudah kita ketahui tetapi masih jarang kita sadari. Berdasarkan hukum fisika kehidupan, begitu kita marah atau dikuasi amarah, hubungan kita dengan dia direkatkan oleh energi negatif. Sangat jarang energi negatif itu menghasilkan out-put yang positif. Bukti lain bisa kita lihat misalnya banyak orang yang secara intelektual itu tidak bagus-bagus amat tetapi bisa melahirkan (membina / mendidik, dsb) orang-orang yang bagus. Sebaliknya, tidak semua orang yang secara intelektual bagus itu akan menjadi jaminan lahirnya orang-orang yang bagus.

Ketiga, menjaga keseimbangan antara kabar baik dan kabar buruk (positif dan negatif). Idealnya, baik itu dalam membina atau mengajar, kita perlu memberikan kenyataan yang seimbang antara kenyataan yang membesarkan hatinya (kabar baik) dan kenyataan yang menghantam ego-nya (kabar buruk). Jadi, pembina itu perlu mengungkap berbagai kelebihan atau kebesaran yang dimiliki orang lain supaya "pede" tetapi juga jangan lupa memberikan peringatan atau kendali supaya tidak egois, dengan menunjukkan sisi diri yang masih kurang.

Ibarat mau mengajarkan bagaimana menjalankan kendaraan. Kalau yang kita ajarkan itu hanya bagaimana menancap gas, tentu ini berbahaya. Tetapi kalau yang kita ajarkan itu hanya bagaimana menginjak kopling dan rim, inipun akan gagal. Artinya, jangan sampai kita hanya mengutarakan kesalahan, kelemahan, atau kekurangan orang yang kita bina. Perlu juga mengungkap kelebihan, kebolehan, dan keunggulannya.

Keempat, fleksibel dalam menerapkan metode. Metode adalah tehnik yang perlu terus berubah sesuai keadaan, tetapi menjadi fleksibel adalah prinsip yang tidak boleh berubah. Artinya, kite perlu membuka diri terhadap berbagai inspirasi dan pikiran-pikiran kreatif. Begitu kita sudah berkesimpulan bahwa metode kita ini sudah mutlak benarnya, yang muncul biasanya pemaksaan, bukan pengembangan atau pembinaan. Supaya kita terus bisa fleksibel, yang dituntut adalah membuka pikiran: membaca orang, keadaan, dan literatur.

Dari beberapa literatur SDM, panduan umum yang bisa kita ikuti untuk menentukan metode pembinaan itu misalnya di bawah ini:

Yang Perlu Dilakukan

Yang Perlu Dihindari
Jadilah fasilitator

Hanya memberi instruksi
Jadilah pengamat yang tidak men-judge

Mematikan ide, gagasan atau inisiatifnya
Bawa dia ke pemahaman seputar poin-poin penting

Mendekte setiap detail
Ajukan pertanyaan dan pilihan

Memutuskan jawaban
Uji kemampuannya dalam menguasai hal-hal yang detail

Sekedar menyalahkan di akhir episode
Tantanglah persepsinya (ajak dia untuk membuktikan)

Memastikan bahwa dia salah
Fokus pada problem sekarang dan peluang di hari esok

Mengungkit kesalahan masa lalu
Arahkan dia untuk mengambil tindakan

Menyuntikkan ketakutan lalu menjadi orang yang serba takut untuk melakukan sesuatu
Dorong dia untuk memenuhi target atau standarnya lalu hargailah

Tidak memberi tanggapan apa-apa, cuek dan tidak ada penghargaan
Ajak dia untuk menilai langkahnya sendiri


Menilai seluruhnya
Rumuskan lagi target berikutnya sesuai keadaan (dinamiskan standar)


Reaktif, sesuai mood sesaat, tidak ada planning yang jelas, tidak memiliki catatan perkembangan atau rekod

Kelima, niatkan untuk pengembangan-diri, sesuai kapasitas dan keadaan. Kenapa ini penting? Alasannya buaanyak sekali. Sebagian yang paling mendasar adalah agar kita tidak mudah tergoda oleh setan dan nafsu. Setan biasanya membisikkan kata-kata seperti ini: "kalau saya membina orang lain, nanti dia bisa lebih pintar dari saya," "membina orang lain berarti mengurangi apa yang sudah kita miliki", "membina orang lain itu bukan investasi (kegiatan yang untungnya akan kembali ke kita", dan lain-lain.

Lagi, dengan niat seperti itu berarti orientasi kita bukan saja pada orang lain, melainkan juga pada diri sendiri. Jadi, kita berkembang dengan mengembangkan orang lain (sinergis, ke-saling-bergantungan). Ini juga akan mendorong kita untuk membuka diri, meningkatkan diri, dan menemukan solusi yang pas untuk masalah yang terus berkembang. Kalau kita hanya berpikir untuk mengembangkan orang lain, pembinaan itu untuk orang lain, instruksi itu harus dijalankan oleh orang lain, kerapkali ini memunculkan jarak antara kita dengan jabatan atau posisi kita.

Akan lebih bagus lagi jika niat itu kita tambahi untuk ibadah (baca: pengabdian pada panggilan hati yang merupakan perintah Tuhan atau untuk mencari keridloan Tuhan). Secara umum, niat itu akan semakin bagus kalau strukturnya (urut-urutannya) semakin jelas: dari yang kongkrit ke yang semakin abstrak (transendental). Kalau kita hanya berniat untuk yang kongkrit, biasanya kepentingan pribadi yang dominan. Tetapi kalau langsung ke abstrak, biasanya kepentingan diri yang terkalahkan. Jadi, kata kuncinya adalah seimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar