Anda bisa menganyam janji – janji bawahan sehingga menjadi manajemen yang dinamis, dan penuh komitmen. Menagihnya pun tidak sulit, karena janji diucapkan dengan kongkrit dan sudah diwarnai “buy in” individu sendiri.
be well,
Dwika-ExecuTrain
Janji Surga
**Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Kalau mengalami banyaknya janji yang tidak “bisa dipegang”, maka kita bisa jadi memandang kata “janji” sebagai hal yang negatif. Saat teman saya mengalami kesulitan dalam proses melahirkannya, atasannya menjanjikan bantuan dana dari manajemen. Namun, sampai bayinya berusia 5 bulan, bantuan tersebut tidak kunjung “keluar”. Ia lalu mulai menyindir-nyindir atasannya karena hanya mengucapkan “janji - janji surga”.
Bagaimana dengan pengusaha kondang dan terkenal bijaksana yang berjanji untuk menanam hutan bakau dan ketapang di lahan pengganti, setelah menutup lahan seluas 1.154,49 hektar, yang konon tadinya bisa menampung 16 juta meter kubik air sebelum masuk ke laut di lingkungan bandara Soekarno-Hatta? Tampaknya menagih janji di lingkungan kita sering tidak sekeras intensitas mengucapkannya. Penagih janji juga sudah frustrasi dan tidak yakin akan kesungguhan pengucap janji dan keberhasilan menagihnya. Seorang teman berkomentar pesimis:” apakah bangsa kita sedang berkembang menjadi bangsa yang bisa hidup bersama tanpa mengindahkan janji lagi?”
Saking banyaknya ‘janji surga’ yang kita dengar, kita bisa rasakan bahwa banyak dari kita meremehkan, mengolok-olok dan tidak menganggap penting saat mengucapkan atau mendengar ‘janji’. Lihatlah betapa kita sering ‘menganggap angin’ dan apatis terhadap janji-janji yang diucapkan saat seorang tokoh atau partai dalam berkampanye. Padahal ‘janji’ sangatlah penting. Janji adalah ‘kontrak’, tanpa landasan hukum. Kalau kita sama-sama membuang konsep dan kata “janji” dari khasanah perbendaharaan kata kita, maka kita akan kehilangan cara untuk membina kepercayaan satu sama lain di luar kontrak yang tertulis, berdasarkan hukum. Misalnya jam bertemu, proposal diserahkan, menolong teman dan masih banyak lagi hal yang sering kita kembangkan dengan dasar janji.
Bahayanya Bila Kita Tak Lagi Percaya ‘Janji’
Saat lulus sebagai sarjana, otomatis kita mengucapkan janji sebagai professional .Saat “diangkat” sebagai pejabat, kita pun mengucapkan janji jabatan untuk bersikap jujur dan etis sesuai kaidah – kaidah profesi dan jabatan yang dijalankan. Janji profesi bisa menyangkut harkat kemanusiaan secara langsung, seperti dokter dan psikolog, maupun tidak langsung, seperti insinyur, wartawan, pejabat, duta besar, pengacara, ahli lingkungan dan semua profesi lainnya. Kalau ‘janji’ atau sumpah profesi dan jabatan seperti ini kita sikapi dengan berolok – olok, maka tentunya kita juga tidak punya komitmen untuk berpegang teguh pada janji tersebut. Akibatnya, kita tidak saling mendorong teman – teman kita yang berusaha berpraktek secara benar. Tanpa menyadari bahayanya, hilanglah sudah arti janji profesi itu.
Kita sebagai orang tua juga selalu menanamkan keyakinan pada putra – putri kita: ”Mamah janji untuk bertindak adil”, “Papah janji untuk tidak meninggalkan kamu sendirian”. Janji yang sungguh – sungguh dan ditepati akan membangun rasa percaya. Rasa percaya anak pada orang tua, otoritas, akan menumbuhkan keberanian dan akhirnya kepercayaan pada kekuatan dirinya sendiri.
Janji: Esensi dari Eksekusi
Kita sama – sama menyadari bahwa dalam manajemen banyak sekali hal – hal penting yang sudah direncanakan, tidak terlaksana secara tepat waktu dan tidak sesuai dengan kualitas yang direncanakan. Banyak sekali penyebab dari tidak terlaksananya suatu rencana, misalnya bahwa si pelaksana tidak mem”buy – in” rencana tersebut atau tidak yakin, sehingga ia pun tidak terlibat secara emosional atau kurang adanya komunikasi antardepartemen sehingga koordinasi tidak mulus. Singkat kata, organisasi memang adalah sekumpulan rencana proyek, atau sejumlah garis dan kumpulan job description yang akan semakin tidak “bernyawa” bila tidak diwarnai jaring “janji & komitmen” yang dinamis.
Bukankah dalam setiap rapat mingguan, bulanan, kita mensahkan janji-janji kita dalam rencana “action” yang akan ditagih minggu atau bulan depannya? Organisasi dengan individu yang tidak kuat menepati janji pasti akan menjadi organisasi yang melempem, yang hanya pasrah dan tersenyum sinis bila sesuatu yang sudah dijanjikan tidak berjalan sesuai rencana.
”Manajemen Janji”
Dalam “speech act theory” yang ditegakkan di jaman Romawi, dikatakan bahwa bicara itu bukan “omdo” (baca: ‘omong doang’), karena dikatakan: orang tidak bisa komit bila tidak melakukan penegasan, pertanyaan, permintaan, deklarasi dan segala macam cara dalam “bicara”.
Janji yang bermutu, bisa membuat salesman mencapai target, seorang periset menepati deadline penelitiannya, dan seorang manager menyemangati anak buahnya. Bahkan pemahaman bersama tentang sasaran dan target perusahaan tidak mungkin tanpa janji setiap pihak untuk memenuhinya, melalui partisipasi dan kontribusinya. Justru dengan adanya manajemen janji yang baik, akuntabilitas individu terpacu. Janji juga memacu setiap individu dalam organisasi untuk menimbang – nimbang kekuatan dan situasi pekerjaannya, sehingga masih ada kesempatan menegosiasikannya dengan anggota tim lain agar sasaran bersama akhirnya tercapai. Ini jauh lebih baik daripada kalau individu bersikap “iya…iya, tetapi tidak” sehingga atasan juga perlu menagih – nagih “follow up”.
Mari “walk the talk”
Kalau kita tinjau:”talk “ apa yang sering tidak di-“walk” maka kita perlu menelaah apakah “bicara” kita sudah lengkap atau sekedar bunyi. Bicara untuk memancing komitmen memang perlu mengakomodasikan “a meeting of minds” dulu, saling pengertian, saling paham. Selain itu, “bicara” perlu realistis sehingga memang memungkinkan untuk diaplikasikan, baru kemudian kita bisa meminta anggota tim kita agar secara aktif berjanji untuk mengakomodasikan pencapaian sasaran.
Kita tahu bahwa janji yang diungkapkan di depan banyak orang biasanya memancing komitmen yang lebih besar, itu gunanya mengadakan rapat dalam merencanakan koordinasi. Selain itu, janji – janji juga perlu dibuat kuantitatif, bisa dihitung dan dibuktikan. Janji manajemen perlu menggambarkan “who will do, what for, whom, by when”. Dengan demikian seorang pemimpin bisa menganyam janji – janji bawahan sehingga menjadi manajemen yang dinamis, dan penuh komitmen. Menagihnya pun tidak sulit, karena janji diucapkan dengan kongkrit dan sudah diwarnai “buy in” individu sendiri. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di KOMPAS, 16 Februari 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar