Senin, 27 Desember 2010

Mengubah orang lain

Jangan mengubah orang lain dengan mengubah orangnya, tetapi ubahlah pendekatanmu terhadap dirinya.
be well,
Dwika-ExecuTrain





Training Tanpa Learning
**mansurraden.blogspot.com

Tujuan Evaluasi
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi adalah penilaian. Layaknya sebuah penilaian (yang dipahami umum), penilaian itu diberikan dari orang yang lebih tinggi atau yang lebih tahu kepada orang yang lebih rendah, entah jabatan strukturalnya atau lebih rendah keahliannya. Dalam praktek dunia kerja, evaluasi ini kerap dilakukan, misalnya saja mingguan, bulanan, atau insidental. Apa tujuannya? Tentu saja kita sudah tahu tujuannya. Salah satu yang paling mendasar di sini adalah untuk memunculkan motivasi perbaikan. Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, motivasi itu ada yang bersumber dari dalam dan ada yang bersumber dari luar. Evaluasi termasuk satu dari sekian motivasi ekstrinsik. Nah, meskipun evaluasi itu punya tujuan yang semulia itu, tetapi dalam prakteknya, kejadian yang terkadang muncul malah sebaliknya. Dalam arti bahwa evaluasi yang kita lakukan terhadap orang lain itu malah menjadi de-motivasi. Ada bawahan yang malah merasa takut untuk maju, malah merasa gairah-berprestasinya turun setelah mendengar evaluasi dari atasannya.

Kejadian semacam itu sebetulnya bukan hal yang baru. Karena itu, kalau membaca catatan para pakar Psikologi Olahraga (Sport Psychology), di sana kita jumpai ada yang mereka sebut dengan istilah constructive evaluation dan (tentunya ada) destructive evaluation. Evaluasi konstruktif adalah kegiatan evaluasi yang menghasilkan out put berupa motivasi perbaikan. Sedangkan evaluasi destruktif menghasilkan yang sebaliknya.

Apa yang menjadi sebab? Kalau bicara sebab, mungkin ada yang dari kita dan mungkin ada yang dari si penerima. Sebelum kita mendapatkan bukti-bukti untuk menyimpulkan bahwa si penerima-lah yang menjadi sebabnya, ada baiknya juga kita mengevaluasi diri sendiri. Ini tidak berarti kita perlu langsung menyalahkan diri sendiri, melainkan lebih bertujuan untuk menemukan model perubahan pendekatan yang lebih pas.

“Jangan mengubah orang lain dengan mengubah orangnya, tetapi ubahlah pendekatanmu terhadap dirinya.”

Model Orang, Skala Inisiatif & Tingkat Kerumitan
Ada sedikitnya tiga hal yang perlu kita perhatikan sebelum mengevaluasi orang. Satu dari tiga itu adalah melihat model orang. Model orang ini, kalau mengacu pada pendapatnya Karl Albrecht (Understanding People: model & concept: 1977), dikelompokkan ke dalam sebuah akronim AEUIO berikut ini:
A > Action Person. Dia adalah orang pekerja, pelaksana atau eksekutor lapangan. Konsentrasinya yang paling besar biasanya pada hasil akhir dan umumnya tidak sabar menunggu atau kurang gemar beretorika. Untuk memotivasinya, tunjukkan tujuan akhirnya dan jelaskan bahwa dirinya adalah orang yang paling cocok untuk meraih tujuan itu.

E > Energizer Person. Dia adalah penggerak, bisa memotivasi orang lain, atau mampu mengembangkan potensi orang lain untuk meraih tujuan bersama. Orang seperti ini dapat memahami ide, gagasan, nilai-nilai dan konsep. Untuk orang seperti ini, jelaskan ide / gagasan atau nilai yang melatarbelakangi tujuan dan bantulah dalam melihat berbagai peluang agar tujuan itu bisa direalisasikan.

I > Idea Person. Dia ingin melihat konsep dulu, ingin mempelajari masalah dulu, ingin mendiskusikan berbagai pendekatan atau cara kreatif yang akan dilakukannya lebih dulu. Dia memunculkan berbagai gagasan, konsep, teknik dan kemungkinan. Bahkan terkadang memunculkan ide-ide spektakuler. Apesnya, tidak semua orang mampu dan mau memahami pikirannya. Cara memotivasinya adalah libatkan dia dalam pencarian solusi atas persoalan yang muncul.

O > Organizer Person. Dia bisa mengorganisasikan orang dengan berbagai kekuatan yang dimiliki, bisa membuka kerjasama, bisa menangani operasi di lapangan, dan bisa menggerakkan orang lain. Orang seperti ini biasanya punya konsentrasi dan orientasi pada manusia, hubungan dan proses. Untuk memotivasinya, berilah dia peranan dan tanggung jawab supaya bisa merumuskan rencana, membuat penugasan, dan manangani operasi.

U > Uncommitted Person. Secara fisik dia terlibat, tetapi secara hakekat, dia tidak terlibat. Keberadaannya sebetulnya sama dengan ketidakberadaannya. Banyak faktor yang membuat seseorang menjadi uncommitted ini. Misalnya saja dia merasa tidak dianggap atau tidak dilibat. Salah satu cara untuk memotivasinya adalah, libatkan dia dalam perencanaan, pancinglah gagasannya untuk perbaikan, tanyalah ide-idenya tentang solusi. Setelah dia menjelaskan apa yang dimaui, buatlah kesepatakan tentang siapa yang menjalankan apa. Dengan begitu dia merasa punya tanggung jawab.

Nomer duanya adalah melihat skala inisiatif. Inisiatif adalah kemampuan seseorang untuk bertindak melebihi yang dibutuhkan atau yang dituntut dari pekerjaan. Termasuk dalam pengertian inisiatif adalah kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu tanpa menunggu perintah lebih dahulu dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan hasil pekerjaan, menciptakan peluang baru atau untuk menghindari timbulnya masalah.

SKALA INISIATIF
Skala


1

Tidak memiliki inisiatif atau masih membutuhkan pengawasan serius dalam mengerjakan pekerjaan
2

Tidak menyerah jika rencananya menemui hambatan, berusaha menciptakan jalan lain agar rencana itu bisa berjalan.
3

Berkonsentrasi pada optimalisasi kesempatan atau pencarian solusi atas masalah yang ada sekarang.
4

Cepat dalam mengambil keputusan dan tindakan atas krisis yang muncul, tidak menunggu, tidak menghibur diri dan tidak ingin melihat masalah itu menyelesaikan dirinya sendiri
5

Sudah melakukan tindakan antisipatif, menciptakan kesempatan baru atau menciptakan usaha ekstra untuk mengurangi masalah potensial
Tujuannya apa mengetahui skala inisiatif ini? Salah satu tujuannya adalah mengetahui pendekatan yang pas terkait dengan orang yang akan kita evaluasi pekerjaannya. Untuk orang yang inisiatifnya rendah, evaluasi tidak bisa dilakukan hanya dengan meninggalkan kata-kata atau menulis note tentang apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dihindari. Justru yang dibutuhkan adalah bimbingan, pendampingan, pengarahan, pengawasan, dan semisalnya. Sebaliknya, untuk orang yang punya inisiatif tinggi, cara-cara di atas justru seringkali tidak dibutuhkan.

Nomer tiganya adalah memperhatikan tingkat kerumitan pekerjaan. Mengevaluasi pekerjaan yang sama sekali baru berbeda dengan mengevaluasi pekerjaan yang sudah rutin atau yang sudah punya standar baku. Pekerjaann baru biasanya punya tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Evaluasi pekerjaan baru terkadang tidak cukup dengan mengevaluasi hasilnya. Seringkali yang dibutuhkan adalah mengevaluasi prosesnya dan teknik-tekniknya. Cara kita mengevaluasi pun perlu disesuaikan. Dalam beberapa kasus, evaluasi pekerjaan baru itu lebih enak kalau dilakukan dengan cara sharing opinion (berbagi pengalaman dan pengetahuan)
”Jika seseorang tidak bisa mengambil pelajaran dari kegagalan kecil, seringkali dia juga akan kesulitan mengambil pelajaran dari kegagalan besar”

Langkah-langkah Evaluasi Konstruktif
Selain kita perlu memperhatikan tiga hal di muka, untuk kelancaran tehnik mengevaluasi, kita juga perlu memperhatikan poin-poin di bawah ini:

Pertama, spesifik. Maksudnya adalah evaluasi itu perlu mengarah pada tindakan yang kongkrit berdasarkan keadaannya. Akan lebih kuat lagi kalau didukung dengan fakta atau data yang kita miliki. Banyak orang yang mengevaluasi kinerja bawahannya tetapi dasarnya adalah praduga, laporan sepihak, atau perasaan subyektif. Karena tidak memiliki data dan fakta yang kuat, akhirnya yang dikeluarkan adalah norma-norma standar, misalnya kamu harus menjadi lebih jujur lagi, harus lebih loyal lagi, harus baik lagi, harus lebih menghormati aturan lagi, dan seterusnya.

Apakah norma-norma semacam itu tidak dibutuhkan? Tentu dibutuhkan. Tetapi yang lebih penting adalah memiliki dasar berupa fakta atau data sehingga pengarahan yang kita lakukan lebih jelas. Norma-norma itu seringkali lebih pas jika kita gunakan untuk mempertegas atau mengingatkan yang bersangkutan setelah kita menjelaskan fakta dan data.

Kedua, penjelasan yang bisa dipahami. Bisa dipahami oleh siapa? Karena yang kita evaluasi adalah orang lain, tentu saja penjelasan itu harus bisa dipahami oleh orang lain. Karena orang lain itu bermacam-macam, maka model penjelasan yang kita gunakan pun perlu dibedakan. Berdasarkan panduan yang standar, model penjelasan itu bisa kita pilih berdasarkan di bawah ini:

* Penjelasan yang clear-cut (jelas apa yang salah dan apa yang benar) dan to the point (ke pokok persoalan) dengan kata-kata yang lugas dan membekas. Ini bisa kita pilih berdasarkan skala inisiatif orangnya, situasinya, atau konteksnya.

* Penjelasan yang lemah lembut dengan kata-kata yang tidak berpotensi menyinggung perasaan dan menggunakan abstraksi, analogi, atau yang lainnya. Dulu, ini sering digunakan para nabi ketika menghadapi tirani yang kuat dan arogan. Ini bisa kita pilih berdasarkan skala inisiatif orangnya, situasinya, atau konteksnya.

* Penjelasan yang ringan, bahasa yang mudah ditangkap (kongkrit), tidak berliku-liku atau tidak bersayap, tidak perlu menggunakan dalil-dalil keilmuan atau kitab suci. Dalil-dalil itu kita sembunyikan. Biasanya, ini akan efektif untuk segmen orang yang sedang terkena banyak masalah, tertuntut oleh pemenuhan kebutuhan fisiologis dan belum punya kesempatan untuk berpikir secara esensial.

* Penjelasan yang memuliakan, tidak merendahkan, dengan bahasa yang tidak menggurui dan tidak perlu menggunakan retorika yang meledak-ledak. Berdasarkan pengalaman, penjelasan model ini biasanya akan lebih tepat diterapkan untuk orang yang secara usia lebih tua atau di-tua-kan, atau untuk orang-orang yang punya pengaruh di lingkungannya. Mengevaluasi kinerja orang tua tentu perlu dibedakan dengan mengevaluasi kinerja orang muda.


Ketiga, menjaga jarak antara orang dan kinerja (perilakunya). Yang kita evaluasi sebenarnya adalah kinerjanya, bukan orangnya. Biarkan orang-orang mengoreksi dirinya sendiri. Ini biasanya sangat lebih efektif. Teorinya mengatakan, focus on problem, not on people. Kenapa? Ketika yang kita koreksi itu orangnya, semua orang di dunia ini punya hak untuk merasa lebih benar (egoisme kebenaran-sendiri).

Artinya, jika kita lebih fokus ke orang, biasanya evaluasi kita mudah mendapatkan penolakan atau penyangkalan. Menurut Les Giblin (Skill With People, 2001), orang lain itu sepuluh ribu kali lipat tertarik pada dirinya ketimbang tertarik pada kita. Semua orang lebih tertarik untuk membela dirinya lebih dulu. Inilah kodrat manusia.

Dengan memfokus pada tindakan atau problem, peluang kita menjadi lebih besar. Evaluasi bisa kita berangkatkan dari ukuran yang didasarkan pada keahlian lunak (soft skill) atau keahlian keras (hard skill). Bisa juga kita berangkatkan dari prosedur kerja. Bisa berbentuk konseling (bimbingan pribadi) atau coaching (pembinaan pribadi). Konseling lebih pada bimbingan emosi, sedangkan coaching lebih pada pembinaan skill kerja.

Keempat, memberikan jalan. Dalam banyak hal, sebelum kita mengevaluasi (menilai apa yang kurang), idealnya kita sudah siap dengan apa yang lebih baik atau memberikan jalan ke arah yang lebih baik. Ini bentuknya bisa solusi, alternasi (pilihan-pilihan) atau substitusi (penggantian). Ketika yang kita katakan itu hanya penilaian yang terkait dengan pada apa yang salah, apa yang kurang, apa yang tidak memenuhi standar, lebih-lebih tidak jelas wujudnya, biasanya ini malah membingungkan.

Untuk orang tertentu, cara yang paling mudah dalam memberikan jalan adalah dengan memberi contoh (example). Kalau kita tidak bisa memberi contoh langsung, kita bisa meminta yang bersangkutan mencontoh orang lain yang menurut kita layak dijadikan contoh. Banyak perusahaan yang sudah menerapkan konsep Social Learning dengan formula yang mudah. Formula itu adalah:

* See (Lihatlah)
* Apply (Praktekkan)
* Modify (Modifikasi supaya lebih baik)


Kelima, persiapan. Karena tujuan akhir dari eveluasi itu adalah memperbaiki, bukan memarahi, tentu kita perlu punya persiapan mental untuk mendengarkan. Misalnya saja mendengarkan alasan, mendengarkan pengalaman, dan lain-lain. Dengan mendengarkan, biasanya kita akan memiliki kemampuan mengevaluasi yang jauh lebih bagus.

Yang tak kalah pentingnya lagi adalah memiliki harapan positif atau keyakinan akan adanya perubahan positif pada orang yang kita evaluasi kinerjanya. Harapan dan keyakinan ini merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh siapapun yang memainkan peranan mendidik orang lain. Banyak orang yang tidak bisa mengevaluasi dengan bagus karena kurang harapan dan keyakinan positif atau sudah pesimis dan apatis duluan.
“Semua manusia memiliki kapasitas untuk menjadi lebih besar. Yang kurang adalah bimbingan dan kesediaan untuk dibimbing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar