Life is not measure in minutes, but in moments, what I just did with this post is simply about capturing all the precious moments in my life.
be well,
Dwika-ExecuTrain
Lesson Learned from My First SAP Implementation Project
**julian.asia
After spending more than a year of my weekdays in Cilegon, Banten, finally I got my first SAP implementation project finished. Though it doesn’t mean that I can leave Cilegon soon, since I will have another project assignment there, I think it is good for me to stop for a while, to thank God for what went well and reflect on what needs to be improved in next project :)
Proyek ini merupakan proyek pertama saya sebagai konsultan SAP. Kata senior saya, ini merupakan proyek implementasi SAP terbesar dan paling rumit se-Indonesia tahun ini. Alhasil, saat ikut project briefing pertama kalinya, informasi ini menimbulkan efek ganda buat saya. Di satu sisi, ada rasa bangga dan semangat yang meluap-luap untuk belajar banyak hal dan membuat prestasi di proyek ini, tapi di sisi lain, ada juga rasa takut dan khawatir tidak bisa menyelesaikannya dengan baik.
Namun, ketika semuanya dijalani, ternyata saya bisa juga. Memang kita sebaiknya tidak perlu takut dalam menghadapi tantangan. Just perform, seperti kata Billy Boen dalam buku Young On Top.
Ingin rasanya menceritakan semua pengalaman saya di proyek ini. Sebab, setiap momen yang saya lalui begitu banyak memberikan pelajaran dan kenangan yang sayang sekali untuk dilupakan. Tapi untuk kali ini sebaiknya saya ambil beberapa saja yang menurut saya paling penting dan saya susun menjadi sebuah daftar lesson learned. Semoga bisa berguna juga buat siapapun, khususnya yang ingin jadi konsultan SAP :)
Lesson #1 – Have a Goal
“Control your own destiny or someone else will”, kata Sean Covey. Having a goal is truly a need, bahkan dalam lingkup yang kecil, seperti dalam sebuah proyek. Goal memberi kita arah dan kita benar-benar membutuhkannya.
Banyak uncertainty yang terjadi dalam proyek ini. Misalnya, tiba-tiba saja salah seorang konsultan senior pergi karena masa kontraknya sudah habis, atau team lead kita memutuskan untuk resign, atau tiba-tiba kita diminta masuk saat weekend, dan sebagainya. Sebagian besar keputusan-keputusan mendadak tersebut tidak kita harapkan. Reaksi yang umumnya muncul adalah kecewa, marah, atau ngedumel di belakang. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah.
Karena itu, sejak awal saya sudah putuskan untuk punya goal. Goal saya adalah belajar sebanyak mungkin tentang modul PP/QM dan integrasinya dengan modul-modul lainnya :)
Project manager saya sering bilang kalau proyek ini adalah tempat belajar yang paling bagus. Sebab, modul-modul yang diimplementasikan di proyek ini cukup lengkap, bahkan di proyek ini kita mengimplementasikan variant configuration dan mengintegrasikannya dengan modul sales and distribution, production planning, quality management, dan interface–kombinasi yang mungkin hanya satu-satunya di Indonesia. Di sini juga banyak konsultan senior, baik dari IBM maupun dari consulting firm yang lain. Memang benar, ini tempat belajar yang bagus, asalkan kita mau memanfaatkannya ;)
Dengan goal itu di pikiran saya, saya jadi tidak mudah mengeluh pada keadaan yang berubah-ubah dengan cepat. Sebab, dalam kondisi apapun, saya masih tetap bisa melangkah ke depan untuk mencapai goal pribadi saya.
Lesson #2 – Manage the Scope
Sebuah proyek pasti punya batasan atau scope. Keberhasilan suatu proyek umumnya ditentukan oleh deliverables yang dihasilkan dalam batasan tersebut dengan penggunaan resource seoptimal mungkin. Masalah akan timbul saat batasan proyek tersebut kurang definitif, sehingga parameter keberhasilan proyek sulit diukur.
Problem seputar scope ini sempat saya alami di proyek, baik dalam skala makro maupun mikro. Ada sejumlah batasan yang masih blur saat saya pertama kali terlibat di proyek ini. Tak heran, hal ini sering menimbulkan dispute antara konsultan dengan business process owner (BPO) atau project team member dari pihak user. Akibat paling buruk dari project scoping yang kurang baik adalah terlalu banyaknya resource yang dihabiskan untuk menyelesaikan semua deliverables. Apalagi kalau sampai mengalami project bleeding. Untungnya, di proyek ini masalah tersebut masih manageable, sehingga bisa diatasi, meskipun kita para konsultan cukup kewalahan dibuatnya :D
Menurut saya, managing scope sama dengan managing expectation. Karena itu, aturan yang berlaku ialah seperti yang pernah dikatakan teman saya dari McKinsey & Company, “Promise less, deliver more“. Buat scope seminimal mungkin, sehingga kita masih punya ruang untuk improvement. Tentu saja semuanya harus definitif ;)
Lesson #3 – Make Proper Documentations
Saat kuliah, membuat dokumentasi adalah pekerjaan paling tidak populer sedunia. Dalam sebuah software engineering team, biasanya yang kelihatan paling keren adalah programmer atau developer. Dialah “the one who creates real thing”, kata Jason Fried di Getting Real.
Kenyataannya, di proyek SAP tidak selalu demikian. Proper documentation sama pentingnya dengan proper design, proper configuration, dan proper code :) Karena itulah, SAP menyediakan SAP Solution Manager. Semua tahapan aktivitas dalam proyek harus terdokumentasi dengan baik, sesuai dengan standar yang ditentukan oleh project manager.
Dalam sebuah proyek yang dinamikanya sangat tinggi, seperti di proyek ini, di mana perubahan requirement sangat sering terjadi dan hampir tidak terkontrol, maka dokumentasi yang baik memegang peranan sangat penting. Setiap hasil tes, meeting, diskusi, atau apapun yang di dalamnya ada pengambilan keputusan, sebaiknya selalu didokumentasikan dan setiap pihak yang terkait harus memberikan acknowledgement terhadap hasil yang telah dicapai tersebut. Hal ini penting sebagai bahan acuan apabila ada perubahan yang harus dilakukan terhadap program aplikasi atau sistem yang sedang dibangun.
Selain dokumentasi proyek, sebaiknya setiap konsultan juga punya dokumentasi pribadi tentang apa saja yang sudah dikerjakannya di proyek ini. Team lead saya adalah orang yang paling sering menyarankan ini. Menurutnya, setelah tiga atau empat tahun, kita akan benar-benar lupa dengan apa yang sekarang mati-matian kita kerjakan. “It’s a big loss“, katanya. Business process design, konfigurasi, dan screenshots, adalah beberapa hal yang harus didokumentasikan. Saya paling suka menyimpannya dalam slide presentasi, seperti yang team lead saya lakukan. Selain untuk pribadi, dokumentasi ini juga bisa berguna saat proses hand over, sehingga kita mudah mencari pengganti apabila kita harus meninggalkan proyek untuk urusan lain.
Me and My Team Lead
Me and My Team Lead
Lesson #4 – Soft-skills Matter
Kalau ditanya apa yang paling penting di dunia kerja, saya akan bilang, “Soft skills“. Bukan berarti kemampuan teknis atau pengetahuan fungsional bisnis tidak penting, tapi kalau kita punya soft skills yang baik, kedua hal itu bisa kita raih dengan cepat. Ini juga berlaku buat konsultan SAP, terutama functional consultant. Begitulah yang saya alami di proyek ini.
Karena saya juga functional consultant, jadi saya cukup tahu bagaimana soft skills itu menjadi begitu penting. Sebab, saya tidak melulu bekerja di depan laptop. Sesekali saya harus berdiskusi, bertanya banyak hal, mengadakan meeting dengan user atau team member lainnya, mengatur pembagian kerja, melakukan presentasi, membawakan training, dan menjawab berbagai pertanyaan dari user. Porsinya bisa sampai 30% dari waktu kerja saya. Semakin tinggi posisi kita di proyek, angka ini bisa lebih besar.
Kalau diurutkan, soft skills yang paling berguna selama saya menjalankan proyek tersebut antara lain: communication skill, interpersonal skill, analytical skill, dan teamwork skill. Detail tentang keempat soft skills tersebut akan saya bahas di tulisan lain, ya :)
Lesson #5 – Strive for Work-Life Balance
Ini yang paling sulit. Di proyek saya sekarang ini, hampir saja saya tidak punya apa yang di IBM sering disebut work-life balance. Mulai dari jam kerja yang tidak normal karena selalu pulang malam, instruksi untuk masuk saat weekend, troubleshooting menggunakan remote connection saat kita libur atau cuti, dan sebagainya. Saya sempat berpikir kalau hidup saya mungkin hanya untuk proyek ini. Tapi untungnya tidak :)
Karena menurut saya tidak ada gunanya memprotes atau mengharapkan project management mengubah kebijakannya, maka saya putuskan untuk membuat work-life balance versi saya sendiri. “Enjoy any of your free time, when you have it“, kata team lead saya. Maka kami pun melakukannya.
IBM Futsal Team in Cilegon
IBM Fustal Team in Cilegon
Teman saya yang hobi fitness, tetap melakukan rutinitasnya di sela-sela bekerja. Semua orang tahu jadwal fitness-nya, sehingga berusaha menyelesaikan semua pekerjaan yang berhubungan dengannya di luar jadwal fitness-nya itu. Teman saya yang hobi fotografi pergi ke Pantai Anyer untuk berburu sunset saat sedang tidak ada pekerjaan. Teman saya yang lain pergi hiking pada hari Jumat sebelum berangkat ke kantor, sementara yang lain berenang di kolam renang di belakang rumahnya. Setiap hari Rabu kami main futsal sama-sama. Sebagian kadang tidur siang saat waktu istirahat karena rumahnya dekat lokasi proyek. Kadang kami mengadakan barbeque party, karaoke, atau main Winning Eleven dan Countre-Strike sama-sama :)
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membuat hidup kita jadi lebih seimbang. Memang tidak sampai pada tingkat ideal, tapi paling tidak hal itu cukup untuk melepas lelah, menjaga kebugaran, menghindari stress, dan sebagainya. Memang ini lebih mudah buat yang belum berkeluarga.
Buat saya, proyek ini cukup menyenangkan karena banyak teman-teman sebaya. Teman saya dari consulting firm yang lain pernah bilang kalau proyek seperti ini jarang. Katanya, dulu dia sering jadi yang paling muda di proyek karena rekan kerjanya umumnya berusia 30-40 tahun ;)
Well, that’s all. As my friend said, “Life is not measure in minutes, but in moments”, what I just did with this post is simply about capturing all the precious moments in my life. Finally, I would like to say that I like my job :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar